Oemar Bakrie

Tas hitam dari kulit buaya
Selamat pagi berkata bapak Oemar Bakrie
Ini hari aku rasa kopi nikmat sekali
 
Tas hitam dari kulit buaya
Mari kita pergi memberi pelajaran ilmu pasti
Itu murid bengalmu mungkin sudah menunggu
 
Laju sepeda kumbang dijalan berlubang
Selalu begitu dari dulu waktu jaman Jepang
Terkejut dia waktu mau masuk pintu gerbang
Banyak Polisi bawa senjata berwajah garang
 
Bapak Oemar Bakrie kaget apa gerangan?
“Berkelahi pak!” jawab murid seperti jagoan
Bapak Oemar Bakrie takut bukan kepalang
Itu sepeda butut dikebut lalau cabut kalang kabut (Bakrie kentut) cepat pulang
 
Busyet…standing dan terbang
 
Oemar Bakrie…Oemar Bakrie…
Pegawai Negri
Oemar Bakrie…Oemar Bakrie…
Empat puluh tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
 
Oemar Bakrie…Oemar Bakrie…
Banyak ciptakan Mentri
Oemar Bakrie…
Profesor Dokter Insinyurpun jadi
(Bikin otak orang seperti otak Habibie)
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakrie seperti dikebiri
 
Bakrie…Bakrie…
Kasihan amat loe jadi orang
Gawat

 

Tembang lawas yang menjadi salah satu lagu dalam album “Sarjana Muda” yang dirilis pada bulan September 1981 berjudul “Guru Oemar Bakrie” ini pasti tidak asing lagi ditelinga anda yang khususnya sedang beranjak remaja di masa itu. Apalagi anda ternyata seorang Oi, fans beratnya sang legendaris Iwan Fals. Atau anda belum lahir pada masa itu tapi sangat familiar dengan lagu dan liriknya. Seperti saya, anda pasti mengenal lagu tersebut karena hingga sekarang lagu tersebut kerap diputar oleh radio bahkan televisi.

Walau sosok Oemar Bakrie adalah sosok fiksi yang hidup dalam lirik “Guru Oemar Bakrie” tetapi lagu tersebut ada karena pasti ada fenomena yang terjadi pada saat itu terkhusus tentang fenomena kehidupan guru. Hal ini wajar karena memang Iwan Fals adalah salah seorang musisi yang sangat peka terhadap lingkungan masyarakat dan pemerintahan. Terbukti dengan semua lirik yang ia ciptakan bahkan ia dendangkan adalah lirik yang diangkat dari kejadian disekitarnya pada masa itu. Tapi yang dibahas dalam buku ini bukan penyanyinya tapi lirik lagunya. Terkhusus karena lirik lagunya mengangkat tema tentang guru.

Sebagaimana Iwan Fals dalam liriknya menggambarkan sosok Pak Guru Oemar Bakrie adalah seorang pegawai negri yang mengabdi selama 40 tahun. Pribadinya jujur dan bersahaja. Sebuah fakta keniscayaan di Indonesia sampai sekarangpun dipelosok negri pasti ada sosok Oemar Bakrie Oemar Bakrie lainnya. Benar adanya bahwa tak jarang dari profesi guru bisa melahirkan profesi profesi lainnya. Namun profesi lainnya belum tentu bisa melahirkan profesi guru. Namun miris profesi seperti Pak Guru Oemar Bakrie jika gajinya pun tak cukup menjanjikan ekonomi keluarganya mapan seperti penghasilan profesi lainnya. Sebuah ironi yang agaknya ingin disuarakan oleh Iwan Fals melalui lirik lagunya ini. Mengenai kondisi profesi guru tanpa tanda jasa.

Istilah guru sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada masa kerajaan Budha maupun Hindu, orang yang mau belajar membaca dan menulis sansekerta maka ia akan mendatangi Bihara. Di Bihara mereka akan diajari oleh para Biksu. Para Biksu yang mengajarkan membaca dan menulis ini disebut sebagai guru.

Begitupun setelah agama Islam masuk ke Indonesia. Masyarakat yang telah mengenal dakwah islam, mereka berkeinginan sekali untuk bisa membaca Al Qur’an dan melaksanakan ajaran shalat. Sebagaimana perilaku masyarakat yang belajar membaca dan menulis sansekerta begitupun masyarakat yang ingin bisa membaca Al Qur’an dan melakukan shalat dengan benar maka mereka belajar melalui ulama.  Dan ulama pun juga disebut sebagai guru khususnya guru agama.

Beralih zaman hingga masuk masa penjajahan Belanda atas Indonesia. Pemerintahan Belanda saat itu sangat membutuhkan pegawai yang pandai menulis dan membaca huruf latin. Dan demi kepentingan penjajahan maka pemerintahan Belanda mendirikan sebuah sekolah. Di sana masyarakat pribumi diajari menulis dan membaca huruf latin kecuali tentang agama. Dan sekolah inilah yang menjadi cikal bakal sistem pendidikan modern di Indonesia.

Setali tiga uang, jika Belanda mendirikan sekolah maka guru pribumi bersama mendirikan Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) yang didirikan pada tahun 1912. PGHB beranggotakan guru bantu, guru desa, kepala sekolah, dan penilik sekolah. Mereka semua umumnya bekerja di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat. Awalnya kiprah PGHB hanya dalam ruang lingkup memperjuangkan nasib para anggotanya yang memiliki pangkat, status sosial dan latar pendidikan yang berbeda. Serta perjuangan memperjuangkan persamaana hak dan posisi terhadap pihak Belanda. Dan terus berkembang melahirkan berbagai organisasi guru lainnya. Hingga akhirnya kiprah PGHB berkembang tidak melulu hanya tentang perjuangan nasib dan persamaan hak guru tetapi tentang semangat nasionalisme semua anggota PGHB melahirkan semangat heroik untuk mewujudkan kata merdeka di bumi pertiwi.

Semangat heroik itu mengejawantah dalam perubahan nama. PGHB bermetamorfosa menjadi PGI (Persatuan Guru Indonesia). Kata Indonesia dalam nama baru PGHB ini sempat membuat Belanda gusar. Betapa tidak tersematnya kata Indonesia dalam nama organisasi ini merupakan simbol bangkitnya semangat perlawanan terhadap Belanda. Tetapi sayang setelah penjajahan beralih tangan ke tangan Jepang, semua organisasi dilarang termasuk PGI.

Rupanya semangat itu belumlah padam, hanya jasadnya saja yang tidak bergerak tetapi ruh semangat perjuangan para guru pribumi masih berkobar. Singkat cerita episode perjuangan guru pribumi disempurnakan dalam sebuah kongres berjarak 100 hari dari Proklamasi Kemerdekaan RI. Pada tanggal 24 – 25 November 1945 di Surakarta semua guru pribumi bersepakat tidak terkotak kotak dalam tingkatan sosial ataupun jenis jabatan dan mereka bersatu demi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan semangat pekik Merdeka pada kongres itu juga dibentuk PGRI (Persatuan Guru Indonesia).

Sungguh jangan pernah melupakan sejarah. Semangat nan mulia dari para guru pribumi. Bukan melulu hanya memperjuangkan hajat hidup diri sendiri tapi untuk kemerdekaan Negara. Tetapi sudah sewajarnya pula Negara tidak melupakan jasa para Pahlawan termasuk perjuangan para guru pribumi. Sehingga kini sudah seharusnya sosok Oemar Bakrie dilirik nasibnya.

4 thoughts on “Oemar Bakrie

  1. TOP BGT tulisannya bu! Klo kita bandingkan saat ini seolah trjadi kastanisasi guru yg terjadi belakangan ini. 1) PNS sertifikasi 2) PNS non sertifikasi 3) Swasta sertifikasi 4) guru honorer 5) guru sukwan…mengapa terjadi?

  2. Terimakasih Pak @Ary Herawan sudah bertandang ke blog sy 🙂
    Sepakat dg apa yg bpk sampaikan…semoga semua guru di Indonesia terkhusus sahabat guru yg saat ini mendefinisikan diri dalam dunia pendidikan walau tanpa titel PNS atau bahkan malah digaji seadanya tetap semangat dan ikhlas mendidik anak bangsa.

Tinggalkan komentar